INSAN CITA COMMUNITY

Just another WordPress.com site

Posts Tagged ‘SEJARAH GROBOGAN

SEJARAH KERAJAAN DEMAK (PART 4)

leave a comment »

Identifikasi Brawijaya, Kertabumi, dan Kung-ta-bu-mi. Sebelum menjelaskan sepak terjang Raden Patah, di sini perlu dijelaskan sedikit mengenai identifikasi atas tokoh Brawijaya sebagai raja terakhir Majapahit versi BTJ dan Serat Kanda, ayah Raden Patah. Perlu ditelisik pula mengapa sumber lain menyebutkan nama yang berbeda bagi ayah Jin Bun itu.
Nama Brawijaya begitu populer dalam masyarakat Jawa namun tidak memiliki bukti sejarah yang kuat, misalnya prasasti, untuk membuktikan kebenarannya. Nama Brawijaya sendiri diyakini berasal dari kata Bhra Wijaya, singkatan dari Bhatara Wijaya.
Suma Oriental tulisan Tome Pires memberitakan, pada 1513 ada seorang raja bernama Batara Vigiaya yang bertakhta di Dayo, namun pemerintahannya dikendalikan oleh Pate Amdura. Batara Vigiaya merupakan ejaan Portugis untuk Batara Wijaya, sedangkan Dayo dapat ditujukan pada Daha. Prasasti Jiyu memberikan informasi bahwa Daha pada 1486 diperintah oleh Dyah Ranawijaya. Dengan kata lain, Batara Wijaya alias Brawijaya merupakan nama lain dari Dyah Ranawijaya, yang ternyata pada tahun 1513 memerintah di Daha. Identifikasi Brawijaya dengan Ranawijaya cukup masuk akal, karena Ranawijaya juga merupakan raja Majapahit yang memerintah di Daha (Dayo menurut Pires). Berita lain adalah Babad Sengkala yang membeberkan bahwa pada 1527 Daha dikalahkan oleh Demak.
Kemungkinan besar, ingatan masyarakat tentang kekalahan Majapahit yang berpusat di Daha pada 1527, bercampur dengan peristiwa runtuhnya Majapahit yang berpusat di Mojokerto tahun 1478. Akibatnya, Bhre Wijaya yang merupakan raja terakhir tahun 1527 oleh para penulis babad “diposisikan” sebagai Brawijaya yang memerintah hingga 1478. Akibatnya yang lain, tokoh Brawijaya pun sering disamakan dengan Bhre atau Bhra Kertabhumi, yaitu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang menyebutkan bahwa Bhre Kertabhumi adalah Brawijaya.
Kronik Sam Po Kong menjelaskan bahwa Pa-bu-ta-la alias Ranawijaya adalah menantu Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi yang diangkat oleh Raden Patah sebagai bupati (Majapahit) bawahan Demak. ada yang berpendapat bahwa Ranawijaya menjadi penguasa Kediri atas usahanya sendiri, yaitu dengan mengalahkan penguasa Majapahit Bhre Kertabumi tahun 1478. Pendapat ini diperkuat oleh Prasasti Petak yang mengatakan bahwa keluarga Girindrawardhana pernah berperang melawan Majapahit. Dengan begitu, peperangan yang terjadi pada 1478 adalah peperangan antara keluarga Girindrawardhana dengan Majapahit, sesuai dengan berita Prasasti Petak. Jadi, Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (Bhatara Wijaya) berperang melawan Bhre Kertabhumi, di mana Dyah Ranawijaya berhasil menguasai Majapahit.
Pada umumnya, perang antara Majapahit lawan Demak dalam naskah babad dan serat hanya dikisahkan terjadi sekali, yaitu 1478. Perang ini terkenal sebagai “Perang Sudarma Wisuta”, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah. Terlebih dulu pasukan Demak menyerang Tuban, pelabuhan Kediri dan Majapahit, pada 1527. Setelah itu, Kediri (Daha) yang diperintah Dyah Ranawijaya (Batara Wijaya) diserang dan jatuh ke tangan Demak. Serat Kanda mengisahkan, setelah Daha jatuh Dyah Ranawijaya melarikan diri ke Bali—yang sayang tak didukung oleh satu prasasti pun. Runtuhnya Kediri pada 1527, menurut Muljana, lalu disusul berdirinya Kerajaan Hindu di Panarukan yang mengirim utusannya ke Malaka pada tahun 1528 guna mendapat dukungan orang-orang Portugis. Kerajaan Panarukan yang mungkin dipimpin Dyah Ranawijaya bisa dianggap sebagai kelanjutan Kediri.
Perlu diuraikan di sini mengenai kronik Sam Po Kong. Pada 1475, sekitar 1.000 tentara Demak pimpinan Jin Bun menyerang Semarang. Ia menaklukkan Semarang lalu bergerak menuju Klenteng Sam Po Kong yang ada di kota itu. Jin Bun memerintah pada pasukannya agar jangan menghancurkan klenteng itu, karena sebelumnya Sam Po Kong merupakan sebuah masjid yang dibangun oleh orang-orang Tionghoa Muslim dari daratan Tiongkok yang bermahzab Hanafi. Namun, setelah kekuasaan Dinasti Ming di Tiongkok melemah. Sejak armada Dinasti Ming tak lagi singgah di Semarang, hubungan orang-orang Tionghoa Muslim dengan sanak saudara mereka di Tiongkok terhenti. Satu persatu masjid di Semarang dan Lasem, yang dibangun pada masa Laksamana Cheng Ho, berubah fungsi menjadi klenteng. Selain tak menghancurkan Sam Po Kong, Jin Bun juga tak memaksa agar orang-orang Tionghoa yang non-Muslim untuk memeluk Islam. Kebaikan hati Jin Bun tersebut disambut orang-orang Tionghoa non-Musli dengan janji bahwa mereka akan setia pada Demak dan tunduk pada hukum Demak yang Islam.
Lima abad kemudian, Residen Poortman pada tahun 1928 mendapatkan tugas dari pemerintah kolonial untuk menyelidiki: apakah benar Raden Patah itu orang Tionghoa tulen. Poortman pun menggeledah kelentang Sam Po Kong lalu menyita naskah berbahasa Tionghoa sebanyak tiga pedati, lalu dibawa oleh Poortman ke Institut Indoologi di Negeri Belanda. Atas permintaan Poortman, hasil penelitiannya atas naskah Klenteng Sam Po Kong diberi tanda GZG, singkatan Geheim Zeer Geheim alias naskah yang sangat rahasia dan hanya boleh dibaca di kantor, dan tidak sembarang orang boleh membacanya. Dengan begitu, yang boleh melihatnya hanyalah Perdana Menteri Colijn, Gubernur Jenderal, Menteri Jajahan, dan pegawai arsip negara di Rijswijk di Den Haag. Menurut Muljana, hasil penelitian terhadap kronik Sam Po Kong itu itu hanya dicetak lima eksemplar, dan tidak satu pun berada di Jakarta.
Arsip Poortman ini kemudian dikutip oleh Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku kontrovelsial Tuanku Rao yang terbit pada 1964. Parlindungan memiliki hubungan dekat dengan Poortman saat ia menuntut ilmu di sekolah tinggi teknologi di Delft, maka itu dapat menyalinnya.
Slamet Muljana yang menulis buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, banyak mengutip buku Tuanku Rao. Buku Muljana—guru besar di Universitas Indonesia—yang terbit tahun 1968 juga menimbulkan kontroversi. Pemerintah Orde Baru pada 1971 melarang peredaran buku tersebut. Rupanya teori bahwa pendiri Demak (dan juga delapan dari Sembilan Wali Songo) adalah orang Tionghoa membuat pemerintah Soeharto gerah. Ditambah ketika itu pemeirntah Orde Baru baru saja selesai “mengamankan” negara dari gerakan komunis yang dianggap bahaya laten.

Written by nufray

August 12, 2010 at 10:00 am

SEJARAH GROBOGAN (PART 3)

leave a comment »

Sekarang dimanakah letak Kerajaan Medhang Kamulan itu?

Perkataan Medhang (Mendhang) Kamulan terdiri dari dua kata: Medhang dan Kamulan. perkataan Medhang (Mendhang) berarti “ibu kota”. Buktinya :
Prasasti Kedu (Mantyasih) yang lebih dikenal dengan nama Prasasti Balitung, bertahun 907 M ditemukan di desa Kedu. Antara lain menyebutkan : “rahyang tarumuhun ri Medhang ri Poh Pitu”. (Slamet Mulyono, Sriwijaya: hal. 147). Artinya pembesar- pembesar terdahulu yang memerintah di Medhang Poh Pitu, atau pembesar-pembesar yang memerintah terdahulu yang beribu kota di Poh Pitu.
Prasasti Tengaran (Jombang, Jawa Timur) memindahkan Ibu kota Mendhang dari Poh Pitu ke Mamratipura, dan raja Wawa mengatakan ibukotanya “ri Mendhang ri Bhumi Mataram”, artinya “di Medhang di Bumi Mataram”. Dan nama ibukota ini dalam prasasti Tengaran tersebut disebut pula “Medhang i Bumi Mat i Watu” yang artinya “Ibukota di Bhumi Mat i Watu” (Caspaaris, I, 1950 : hal. 39-42).

Jadi jelas bahwa Medhang menjadi ibukota kerajaan Mataram, kota ini sebagai “kuthagara”nya di Mataram.

Sedang Kamulan berasal dari kata dasar “mula” mendapatkan awalan “ka” dan akhiran “an”, membentuk kata benda. Arti “mula” adalah awal, asal, atau akar. Untuk memperoleh penjelasan tentang “mula” tersebut, perlu dikemukakan contoh-contoh yang diajukan oleh Casparis dalam Prasasti Indonesia I (1950).

Batu dari Siman, Kediri (OJO 28) menyebutkan beberapa kali “Sang Hyang Dharma Kamulan”, yang artinya “Mula Sang Hyang Dharma” Maksudnya adalah “pendahlu yang telah tiada, atau sebuah tempat pemakaman nenek moyang”. Selanjutnya dalam Prasasti Singasari disebutkan (OJO 38) “apan ngakai gunung wangkali kamulan Kahyangan ia pangawan” yang artinya “sebab inilah gunung Wangkali dari Kahyangan di Pangawan”. Jadi disini kata “mula” berhubungan dengan “gunung suci?, pendahulu, cikal bakal aatau suci.

Dalam Prasasti Karangtengah (824 M) diceritakan bahwa Ratu Puteri Pramodhawardhani (Sri Kahuluan dan Prasasti Sri Kahuluan th 842) mendirikan “Kamulan” di Bhumi Sambhara (Budhara) atau bangunan suci Borobudur. Di sini arti “Kamulan” adalah makam nenek moyang dan tempat pemujaan.

Dari penjelasan di atas kita dapat menduga mungkin yang dimaksudkan dengan kata “mula” di sini adalah “asal, cikal bakal, awal atau permulaan kejadian.” Jadi Medhang Kamulan berarti ibukota yang mula pertama atau asal kejadian.

Sekarang timbul pertanyaan: Di manakah letak ibukota tersebut? melihat sebutan- sebutan ibukota seperti Medhang i Poh Pitu, Medhang i Mat i Watu, Medhang ri Mamratipura, ri Medhang ri Bhumi Mataram, menimbulkan kesan pada kita, bahwa agaknya ibukota tersebut selalu berpindah-pindah tempat, sebab mungkin terdesak oleh penguasa lain, bencana alam dan lain-lain. Sehingga ibukota kerajaan : Mojopahit : dari Mojopahit ke Sengguruh; dari Mojopahit ke Bintara, Demak; Mataram : dari Kerta ke Plered; dari Plered ke Wanakerta atau kartosuro, dan dari Kartosuro berpindah ke Surakarta, dan sebagainya.

Beberapa ahli menunjuk letak kota Medhang sebagai berikut :
Di sekitar Prambanan, sebab disitu banyak peninggalan sejarah berupa candi. Maka disitu pulalah pusat ibukota kerajaan Medhang. Inilah pendapat Krom, (1957 : 40 ). Juga dalam cerita Bandung Bandawasa berperang dengan Prabu Baka di Prambanan dan cerita terjadinya Candi Sewu dan Candi Lara Jonggrang berlokasi di Prambanan. (Ranggawarsito, III, 1922).
Letaknya di Purwodadi, daerah Grobogan, sebab di situ terdapat desa Medhang Kamulan, Kesanga, dan sebagainya yang berkaitan dengan Ceritera Aji Jaka Linglung. Serta di desa Kesanga terdapat puing-puing bekas istana kerajaan yang diduga bekas istana kerajaan Medhang. (Raffles, 1978).
Pendapat purbacarka dalam bukunya “Enkele Oud platsnamen” dalam TBG, 1933, menyatakan bahwa letak Medhang Kamulan di sekitar Bagelen (Purworejo), sebab di daerah itu terdapat desa bernama Awu-awu langit dan desa Watukura. Dyah Watukura adalah nama lain bagi Balitung, salah seorang keturunan Raja Sanjaya. Desa Awu-awu langit artinya mendung atau Medhang.

Dari beberapa pendapat tersebut, yang jelas bahwa ibukota kerajaan Mataram selalu berpindah-pindah. Sebagai ibukota permulaan adalah Purwodadi, daerah Grobogan, kemudian berpindah ke sekitar Prambanan, kemudian berpindah ke daerah Kedu Bagelen, dan berpindah ke Prambanan lagi, baru sesudah itu berpindah ke Jawa Timur.

Written by nufray

April 25, 2010 at 7:05 pm

SEJARAH GROBOGAN (PART 2)

with 77 comments

Beberapa contoh Sengkalan Memet :
Di atas Panggung Sanggabhuwana yang terletak di halaman dalam istana Kasunanan Surakarta, terdapat bentuk ular naga bersayap yang dinaiki oleh manusia. Bila dibaca berbunyi : Naga Muluk Tinitihan Janma, berangka tahun 1708 Jawa atau 1781 Masehi.
Panggung tersebut dapat pula dibaca : Panggung Luhur Sangga Bhuwana. Artinya: panggung = pa agung bernilai 8; luhur bernilai 0 (nol); Sangga adalah perkumpulan para pendeta Budha bernilai 7 (tujuh); dan bhuwana bernilai 1 (satu), jadi 1708 Jawa atau 1781 Masehi. Atau dapat pula di baca : pa-agung (8); song (9); ga angka Jawa bernilai 1 (satu); bhuwana bernilai 1 (satu). Jadi 1198 Hijrah atau 1781 Masehi. Sengkalan ini sebagai peringatan pembuatan panggung tersebut.
Di dalam wayang kulit purwa terdapat wayang Bathara Guru naik di atas hewan Lembu Nandini. Di baca : Sarira Dwija Dadi Ratu. Bernilai 1478 Saka atau 1556 Masehi, ialah peringatan ketika Sultan Demak membuat wayang kulit purwo sebagai sarana dakwah Islam.
Ketika Sultan Agung membuat wayang kulit purwo, maka dibuatlah wayang kulit Buta Rambut Geni yang merupakan sengkalan pula. Bila dibaca : Jalu Buta Tinata Ing Ratu. Bernilai tahun 1553 Saka atau 1631 Masehi.

Di atas telah disinggung sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu. Sengkalan ini dihubungkan dengan waktu penobatan Aji Saka menjadi raja di Medhang Kamulan setelah dapat mengalahkan Prabu Dewata Cengkar. Bukti sejarah berupa prasasti misalnya, tidak kita temukan. Dari kenyataan sejarah, Tahun 1078 Masehi, pusat kerajaan berada di Jawa Timur sekarang, atau di daerah Manca Nagari zaman kerajaan (daerah Grobogan?), yaitu kerajaan Mendhang dan Kahuripan zaman Mpu Sendok dan Airlangga. Atau dapat juga pada masa Kerajaan Jenggala, Panjalu, Ngurawan dan Singasari, empat sekawan yang berdiri bersama sebagai hasil pembagian wilayah pada masa akhir pemerintahan Raja Airlangga.

Secara geografis, sekarang wilayah Grobogan memang terletak di daerah Propinsi Dati I Jawa Tengah. Namun pada waktu itu negara medhang tidak terletak di Bumi Mataram (Kedu), tetapi di luarnya, yang pendapat umum ditafsirkan di daerah Jawa Timur.

Pada Tahun 1078 M terdapat keturunan raja Airlangga yang berkuasa, yaitu Sri Maharaja Sri Garasakan serta Sri Maharaha Mapanji Alanyung Ahyes. Sudah barang tentu tokoh Aji Saka tidak dapat disamakan dengan masa Airlangga dan sesudahnya berdasarkan data-data sejarah yang ada, tidak terjadi perebutan pengaruh agama, tetapi memang ada gejala perebutan kekuasaan politik. Hal ini dikiaskan dalam cerita Panji Panuluh. Justru perebutan pengaruh di bidang keagamaan terjadi di masa Mataram, yaitu masa Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra berbarengan berkuasa di Mataram. Dinasti Sanjaya menganut Agama Hindu, sedang dinasti Syailendra menganut agama Budha Mahayana. Masa perebutan pengaruh itu tampak jelas pada masa Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya) dan Samarottungga Balaputera (Dinasti Syailendra). Taktik yang digunakan oleh Pikatan untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar adalah dengan cara : dia kawin dengan salah seorang puteri Syailendra, kakak Balaputera, yaitu Ratu Prarnodhawardani atau Sri Kahulunan. Peperangan antara Rakai Pikatan melawan Balaputera memang terjadi berdasarkan prasasti Ratu Baka (856 M = 778 Saka : Wulong Gunung Sang Wiku). Perang diakhiri dengan kemenangan di pihak Rakai Pikatan (Hindu). Sedang agama Budha (Balaputera) dalam peristiwa tersebut kalah dan menyingkir ke Swarnadwipa (Sumatra) dan menjadi raja Sriwijaya tempat penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.

Atas dasar kenyataan sejarah tersebut, maka cerita Aji Saka harus ditafsirkan sebagai ceritera lambang yang sangat kuat mengandung unsur mitologis.

Kita ketahui, bahwa Sengkalan Nir Wuk Tanpa Jalu, arti harafiahnya adalah Hilang Rusak Tanpa Susuh (ayam jantan) atau Hilang Rusak Tanpa Kekuatan Laki-Laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan laki-laki. Maksudnya negara atau masyarakat kacau tanpa kekuatan, karena tenaga laki-laki “dimakan” oleh Dewata Cengkar, sebagai kias bagi mereka yang diperkerjakan untuk membangun bangunan suci berupa candi-candi yang tidak sedikit jumlahnya. Misalnya: candi Borobudur, Pawon, mendhut, Sari, Kalasan, Sewu, Ratu Baka, dll. Inilah gambaran masa akhir bagi kerajaan Medhang di bhumi Mataram!

Written by nufray

April 20, 2010 at 7:53 pm

SEJARAH KOTA GROBOGAN

leave a comment »

Berdasarkan isi dan pola penyajian, yang bersumber pada Serat Sindula atau serat Babad Pajajaran Kuda Laleyan dan Serat Witoradyo, cerita Aji Saka merupakan cerita legendaris, dimana di sana dimunculkan kepahlawanan seorang tokoh dalam lingkup Budaya Jawa (Schrike, Jl: 77; Raffles, 1978: 212).

Di lain pihak cerita Aji Saka juga merupakan cerita Mitologis, yaitu cerita yang bersangkut paut dengan kepercayaan asli masyarakat. Oleh karena itulah maka cerita dalam penyajiannya, cerita Aji Saka diciptakan dalam bentuk cerita “lambang” bagi penetrasi budaya Hindu di Jawa. Di sini cerita Aji Saka dapat dikelompokkan sebagai cerita yang mengandung unsur-unsur mesianis, yaitu karya penyelamatan umat manusia dari kehancuran. Aji saka sebagai Masias menghancurkan penguasa kejam: Dewata Cengkar. Beberapa data dari sumber tradisional juga terdapat dalam :

a. J. Kats, I, 1950: Punika Pepethikan saking Serat-serat Jawi Ingkang Tanpa Sekar. (Hal. 3-5).

Nyai Randa wicanten dhateng Aji Saka, “Negara kene wis misuwur yen ana Brahmana sekti mandraguna, bagus isih enom, limpad ing ngelmu panitisan, pingangkane saka Sabrang anga jawa”. Aji Saka gumujeng amangsuli, “Dora ingkang awartos puniko, angindhakaken ing kayektosanipun. Wondene ingkang kawartos puniko inggih kula”.

b. Primbon Jayabaya, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931: (hal. 10;27)

Jangaran jaman Kala Dwapara … Prabu Sindula, Galuh turun kapindho, jejuluk Sri Dewata Cengkar, angedhaton ing Mendhang Kamulan. Iku Ratu luwih niyaya, mangsa padha manungsa. Tan antara lama kasirnakake prajurit saka tanah Ngarab jejuluk Empu Aji Saka … Karsaning Pangeran Sang Aji Saka jumeneng Nata ing Sumedhang Purwacarita, jejuluk Sri Maha Prabu Lobang Widayaka.

c. Serat Jangka Jagad, Kwa Giok Jing, Kudus, 1957 : hal. 51.

Lha ing kono tanah Jawa banjur ana kang jumeneng nata kang karen mangan daging manungso, yaitu Ratu Dewata Cengkar, nata ing Medhang Kamulan. Ora lawas banjur ketekan sawijining Brahmana saka ing tanah Ngarab, juluk Aji Saka. Brahmana sekti mandraguna kang bisa ngasorake Prabu Dewata Cengkar …

d. RNG. Ronggowarsito, Serat Witoradyo, III. Surakarta: Albert Rusche & Co, 1922: hal. 11-23.

Diceritakan, bahwa di tanah Lampung berdiri sebuah kerajaan dengan rajanya Prabu Isaka berasal dari tanah Hindu. Sang Prabu Isaka turun takhta dan digantikan oleh Patihnya bernama Patih Balawan. Kemudian dengan empat orang pengiringnya, Sang Isaka yang telah menjadi seorang Brahmana pergi ke tanah Jawa dan tiba di Ujung Kulon (Kulon ?). Di situ mendirikan perguruan dan dia sebagai gurunya dengan gelar Sang Mudhik Bathara Tupangku. Muridnya bertambah banyak. Di dalam perguruan itu diajarkan ilmu kesusastraan, ilmu penitisan (inkarnasi), dan ilmu keagamaan. Beberapa lama di Ujung Kulon, dia pergi ke Galuh dan kemudian terus mengembara ke tanah timur. Sampailah di negara Medhang Kamulan yang rajanya bernama Prabu Dewata Cengkar.

Dari kutipan di atas, kita ketahui bahwa Aji Saka adalah seorang raja yang kemudian meninggalkan takhta kerajaannya dan menjadi seorang Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana. Berarti dia adalah penganut agama Hindu. Sebab sebutan untuk Brahmana agama Budha adalah bhiksu. Tetapi dari data historis tokoh Aji Saka tidak pernah ada (hidup). Dengan demikian tokoh ini merupakan tokoh bayangan. Dia diadakan untuk menunjukkan adanya pengaruh Hinduisme dalam masyarakat Jawa. Kebetulan pada waktu itu keadaan masyarakat Mendhang Kamulan sedang resah. Kesempatan ini digunakan oleh Aji Saka (baca umat Hindu) untuk menyebarkan agama Hindu di masyarakat Mendhang Kamulan. Hal ini dikiaskan dalam lambang “desthar” (ikat kepala). Tradisi Jawa menggunakan ikat kepala. Sedang kepala adalah tempat otak, pikir, nalar. Di otak itulah tersimpan segala macam ilmu pengetahuan manusia. Ikat kepala tadi ketika ditebarkan (di jereng) dapat menutupi seluruh Wilayah Mendhang Kamulan. Di sinilah pengikut Prabu Dewata Cengkar harus mengakui kekalahan berebut pengaruh, dan harus menyingkir dari negeri Medhang (dikiaskan dengan menyeburkan diri ke laut menjadi seekor buaya putih).

Ketika Aji Saka menjadi raja, ditandai dengan sengkalan “nir wuk tanpa jalu” yang menunjukkan angka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Tahun Saka diciptakan berdasarkan peringatan penobatan Prabu Kanishka di India pada tahun 79 M = 1 Saka. Tahun Saka mengikuti peredaran Matahari. Di Jawa terdapat tradisi penggunaan sengkalan tersebut. Apabila menggunakan perhitungan tahun Matahari, disebut Surya Sengkala, dan bila menggunakan perhitungan peredaran Bulan di sebut Candra Sangkala. Lahirnya Candra Sangkala adalah sejak masa Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) menciptakan Tahun Jawa dengan perhitungan peredaran Bulan (sejak 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi).

Sengkalan adalah perhitungan tahun yang diujudkan dalam bentuk rangkaian kata menjadi kalimat atau berupa gambar yang menunjukkan angka tahun. Kalimat itu harus menggambarkan keadaan pada waktu tahun itu. Tujuan untuk memperingati suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia dalam masyarakat dan bernegara.

Sengkalan dalam bentuk kalimat disebut Sengkalan Lamba, sedang sengkalan yang diujudkan dalam bentuk gambar atau benda, disebut Sengkalan Memet. Tiap kata dalam kalimat atau gambar diberi nilai yang berbeda-beda antara 0 (nol) sampai angka 9 (sembilan) dengan mengingat akan adanya guru dasanama, guru karya, guru jarwa, dan sebagainya.

Beberapa contoh Sengkalan Lamba antara lain :

1. Srutti Indriya Rasa : termuat dalam prasasti Canggal atau prasasti Gunung Wukir dari Rakai Sang Ratu Sanjaya. Berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi, merupakan Sengkalan tertua yang pernah kita temukan.
2. Nayana Wayu Rasa : termuat dalam prasasti Dinaya dari raja Gajayana di “Candi Badut” dekat Malang. Sengkalan itu berangka 682 Saka atau 760 Masehi.
3. Nir Wuk Tanpa Jalu : termuat dalam Serat Kanda, berangka tahun 1000 Saka atau 1078 Masehi. Merupakan tahun penobatan Aji Saka jadi raja di Medhang Kamulan dengan gelarnya Prabu Jaka atau Empu Lobang Widayaka.
4. Sirna Hilang Kertaning Bumi : termuat di dalam Serat Kanda, berangka Tahun 1400 Saka – Tahun 1478 Masehi. Sebagai pertanda keruntuhan Keprabuan Mojopahit.

Written by nufray

April 3, 2010 at 8:02 pm